Dear kamu yang pernah ada di hidupku,
Suratku akan sangat panjang, sebaiknya kamu membacanya ketika kamu sudah benar-benar siap. Kamu boleh menyeduh segelas susu coklat kesukaan kita untuk menemanimu. Aku selalu berharap kamu segera packing ranselmu lagi. Berdoa semoga kali ini hadir pertemuan yang kita idam-idamkan. Tak harus dalam perjalanan yang sama. Tak mesti selalu dalam petualangan yang senada. Hanya saja, kita butuh sejenak bertatap muka dalam kejadian yang barangkali tak pernah kita pikirkan. Mungkin berpapasan di antara pendaki gunung yang sedang turun. Atau justru ketika bersebelahan duduk di kereta ekonomi Jakarta-Jogja. Bisa saja kita bersua ketika kamu bertanya toilet di mana.
Pertemuan tak harus disiapkan bukan? Yang penting kita siap kapanpun pertemuan itu datang. Itu akan menjadi hari terbahagia dalam hidupku, melihatmu lagi, walau nanti aku akan berpura-pura tidak senang bertemu denganmu.
Aku selalu mengandaikan begitu indahnya bila kita berkelana bersama. Sementara aku yang membuat detail rencana, kamu menyiapkan keperluan perjalanan kita. Kadang tak harus sebegitu terencana sih. Hal yang paling penting kita selalu melewatinya dengan penuh canda seperti selama ini. Ya, kita sama-sama mengerti bahwa cerita perjalanan selalu mendewasakan. Kita juga paham kalau pengembaraan yang spontan selalu tak terlupakan. Apalagi ditemani senyummu sepanjang perjalanan. Itu yang tidak pernah bisa kulupakan.
Apakah kamu ingat? Kita pernah mengelilingi separuh pulau, menunggu datangnya surya dan menyaksikannya tenggelam menutupi bumi, bercinta di bawah bintang dan bercerita tentang masa depan. Alam tak pernah bosan menjadi saksi kisah cinta kita.
Jika saatnya tiba akan kupecahkan celengan rinduku agar kau tau betapa banyak hari-hari yg kulewati dengan rinduku tanpamu.
Hati kita sudah pernah patah bukan? Jadi mungkin tidak terlalu terasa ketika itu harus patah ribuan kali. Sedikit demi sedikit rasa sakitnya akan berkurang. Walau aku tak yakin pernyataanku sendiri.
Jangan bersedih, itu akan membuat kita lebih bijaksana. Bahwa dalam hidup tak semua asa harus terlaksana. Bahwa keikhlasan untuk melepaskan adalah sebenar-benar cinta yang tak sekedar picisan belaka.
Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Meski kadar terlukanya bisa jadi berbeda, karena perbedaan kadar rasa sakit kita ditentukan seberapa besar rasa ingin memiliki kita, dan aku berada di titik itu. Semoga kita sama dalam satu hal, sama-sama ingin menemukan yang paling tepat. Mencari untuk ditemukan.
Dear kamu yg pernah kuanggap jodohku,
Pernah aku menyiapkan pesan ini untukmu: Jangan marah kalau nantinya setiap pekan ku ajak kamu keliling nusantara. Akan ku siapkan tenda besar kok. Kamu bisa ngulet sepuasnya. Mari besarkan jagoan kita dengan hati seorang pendaki yang berani dan tak mudah putus asa, juga hati seorang kekasih yang sangat menyayangi sesamanya, kita menamainya Equinox. Ternyata itu hanya akan jadi kenangan saja tapi kenangan yang indah. Aku dan kamu setuju kan, jika ego manusia yang harus disingkirkan. Bagi kita gunung memiliki arti yang berbeda. Dan aku tau kita sependapat. Gunung adalah pelabuhan cinta. Bukan ladang unjuk kuasa.
Ah, sudahlah.
Saat aku menulis ini aku rindu setengah mati padamu. Aku selalu mengingatmu meski terkadang samar. Merasakan esensi wangimu yang sudah terlalu melekat di otakku bahkan hatiku. Kamu si optimis dan aku si pesimis, kita saling melengkapi satu sama lain, walaupun tujuan perjalanan yang sekarang akan kita tempuh sudah berbeda.
Semua foto kenangan kita, memperlihatkan siapa kita saat itu. Dari situ aku belajar, dulu degup kita pernah seirama, doa kita pernah satu rupa, tangan kita pernah tak hendak melepas satu sama lain walau apapun yang terjadi, apa yang kita punya dulu tak terdefinisikan oleh waktu atau akal manusia di sekitar kita. Walaupun tak bisa satu akhirnya, tapi setidaknya di foto itu kita pernah tertawa bersama dengan lepas.
Malam ini aku berdialog pada Tuhan - meski cuma satu arah. Aku mendoakanmu baik-baik di sana, aku berharap ia segera mengirimkan penjaga hati untukmu, meski aku tau caranya menjaga kelak akan sangat berbeda denganku. Tapi yang pasti kamu akan bahagia dan bisa tersenyum lagi. Aku yakin di sini aku ga akan pernah sendiri, walau aku ga bisa liat kamu lagi, tapi kamu sudah melebur dalam bayangku.
Aku juga tak tahu perjalanan ke mana lagi yang sedang kamu siapkan. Lombok? Kerinci? Rinjani? Wae Rebo? Ah, atau mungkin Ayutthaya? Aku masih sulit menebak penjelajahanmu berikutnya. Tak apa. Toh, sejauh apapun perjalananmu, kelak juga kamu tidak akan pernah lagi berlabuh kepadaku.
Terakhir, aku cuma mau bilang. Aku rindu.
